Kesejahteraan Indonesia menurut Studi Harvard menempati peringkat tertinggi dunia. Simak ulasan FEBI UIN Said dari sudut pandang Ekonomi Islam.

Kesejahteraan Indonesia Menurut Studi Harvard: Perspektif Ekonomi Islam

Ditulis oleh: Muhammad Hanif Aditya, S.I.Kom., M.E.

FEBI NewsroomIndonesia menduduki peringkat pertama dalam daftar negara paling sejahtera di dunia menurut Studi Harvard. Temuan ini tak hanya membuat dunia tercengang, tetapi juga menjadi cerminan penting bagi kita semua: apakah kesejahteraan sejati hanya ditentukan oleh kekayaan dan pertumbuhan ekonomi?

Apa Itu Studi Harvard tentang Kesejahteraan?

Studi ini berjudul Global Flourishing Study dan dilakukan oleh Harvard T.H. Chan School of Public Health, bekerja sama dengan Gallup dan Human Flourishing Program. Diluncurkan tahun 2021, studi ini melibatkan 203.000 responden dari 22 negara dan satu wilayah (Hong Kong), yang mewakili lebih dari 64% populasi dunia.

Mereka diminta menilai kesejahteraan hidup berdasarkan tujuh indikator:

Kesejahteraan spiritual

  1. Kesehatan
  2. Kebahagiaan
  3. Makna hidup
  4. Karakter
  5. Hubungan sosial
  6. Keamanan finansial
  7. Kesejahteraan spiritual

Indonesia, Negara Paling Sejahtera

Dalam daftar 5 besar negara dengan skor kesejahteraan tertinggi, hasilnya mengejutkan:

  1. Indonesia – 8,10
  2. Israel – 7,87
  3. Filipina – 7,71
  4. Meksiko – 7,64
  5. Polandia – 7,55

Bahkan, negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat berada jauh di bawah Indonesia. AS menempati posisi ke-15, sementara Jepang ada di posisi paling bawah. Apa yang membuat Indonesia unggul?

Faktor Sosial dan Spiritualitas Jadi Kunci

Menurut Harvard, skor tinggi Indonesia tidak lepas dari kuatnya hubungan sosial, karakter pro-sosial, dan kesejahteraan spiritual. Sifat gotong royong, kepedulian terhadap sesama, dan nilai-nilai keagamaan menjadi penyokong utama.

Dalam Ekonomi Islam, ini dikenal sebagai konsep falāh—kesuksesan dan kebahagiaan dunia akhirat. Artinya, kesejahteraan tidak hanya dinilai dari aspek materi, tapi juga dari nilai-nilai ruhani, etika, dan sosial.

Apa Relevansinya untuk Ekonomi Islam?

Ekonomi Islam tidak hanya berbicara tentang pertumbuhan dan efisiensi, tapi juga tentang keadilan distributif, ukhuwah sosial, dan maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan-tujuan syariah) seperti terjaminnya agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta. Dalam konteks ini, temuan Harvard menunjukkan bahwa:

Kesejahteraan sejati tidak semata-mata diukur dari angka GDP atau tingkat konsumsi, tetapi dari seberapa bermaknanya hidup seseorang dalam bingkai nilai, spiritualitas, dan hubungan sosial.

Fakta bahwa Indonesia unggul dalam aspek hubungan sosial dan karakter pro-sosial menunjukkan bahwa nilai-nilai seperti gotong-royong, saling tolong-menolong, dan kesalehan sosial masih menjadi kekuatan bangsa—nilai yang juga menjadi ruh dari ekonomi Islam.

Komentar Peneliti

Tyler VanderWeele, profesor epidemiologi di Harvard, mengatakan bahwa “kondisi keuangan semata tidak menjamin kemakmuran.” Sementara itu, Brendan Case dari Human Flourishing Program mengungkapkan bahwa negara seperti Jepang meskipun maju secara ekonomi, justru mengalami penurunan dalam aspek hubungan sosial dan kebahagiaan.

“Kami tidak mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak penting. Tapi studi ini menantang kita untuk berpikir ulang tentang makna development dan kesejahteraan secara lebih holistik,” katanya.

Mahasiswa FEBI, Apa yang Bisa Kita Ambil?

Sebagai mahasiswa di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, ada pelajaran penting yang bisa kita petik:

  • Kesejahteraan yang berkelanjutan perlu memperhatikan nilai-nilai moral dan spiritual, bukan hanya angka.
  • Pembangunan ekonomi berbasis Islam harus mengintegrasikan aspek sosial dan keadilan, bukan mengejar profit semata.
  • Etika dalam bisnis dan keuangan syariah tidak hanya soal halal-haram, tapi juga tentang dampaknya terhadap kehidupan dan kebahagiaan manusia.

Jadi, mari kita tanamkan kembali semangat ekonomi berkeadilan dan bermakna, karena ternyata… dunia mulai sadar: spiritualitas dan kemanusiaan adalah kunci kemajuan yang hakiki.

Artikel ini disusun oleh Tim Redaksi FEBI UIN Raden Mas Said Surakarta, berdasarkan studi yang dipublikasikan dalam Nature Mental Health (2025).

Tags: No tags

Comments are closed.