Potret Industri Keuangan Syariah

Pada 11 Maret 2016, Islamic Research and Training Institute (IRTI) merilis Islamic finance country report for Indonesia (IFCR). Laporan berseri yang menyajikan kondisi dan prospek keuangan syariah di negara-negara Muslim. IFCR Indonesia adalah seri ketujuh. Seri pertama adalah Tunisia (2013), kedua Turki (2014), ketiga Arab Saudi (2014), keempat Malaysia (2015), kelima Oman (2015), dan keenam adalah Sudan (2016).

Hasil riset IRTI yang bekerja sama dengan The General Council for Islamic Banks and Financial Institutions (Cibafi) ini mengulas lima hal terkait peluang dan tantangan industri keuangan syariah di Indonesia. Pertama, perkembangan industri keuangan syariah.

Perkembangan keuangan syariah Indonesia bisa dibilang lambat dibandingkan negara tetangga. Meskipun pertumbuhan keuangan syariah cukup tinggi, mencapai 139 persen year on year (yoy) sejak 2010 dibandingkan konvensional yang hanya 42 persen sejak 2010, setelah lebih dari dua dekade kontribusi keuangan syariah tidak lebih dari lima persen.

Share bank syariah masih berada pada kisaran 4,8 persen dari total industri perbankan, reksa dana syariah juga masih 4,5 persen. Sukuk sebagai salah satu alternatif investasi juga masih 3,2 persen. Sedangkan, industri keuangan non-bank (IKNB) hanya berkontribusi 3,1 persen. Perbankan syariah berkontribusi terbesar untuk keuangan syariah (50 persen), diikuti oleh sukuk 44 persen. Asuransi syariah dan reksa dana hanya 65 persen.

Dukungan Pemerintah Indonesia terhadap keuangan syariah masih sekadarnya, belum menyentuh pokok masalah. Begitupun dukungan partai politik hingga kini masih sangat minim. Dengan hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum mampu untuk meningkatkan share keuangan Islam.

Hal ini berbeda dengan Malaysia. Menurut Lai (2014), dukungan pemerintah dan partai politik yang berkuasa terhadap keuangan syariah sangat kuat. Isu keuangan syariah menjadi salah satu isu sentral yang harus diselesaikan segera sejak 1980-an. Kebijakan yang ada mempercepat pertumbuhan keuangan syariah di Malaysia. Tak mengherankan kalau share perbankan syariah Malaysia mencapai 23 persen.

Kedua, regulasi dan infrastruktur pasar. Sebagaimana pengalaman negara tetangga, peran regulator dalam meningkatkan pertumbuhan keuangan syariah sangat penting. Salah satu isu adalah bagaimana membuat regulasi yang efesien dan efektif untuk mendukung perkembangan ekonomi syariah.

Sistem infrastruktur keuangan syariah kita terdiri dari tiga otoritas, yaitu Bank Indonesia (BI) dalam pengembangan keuangan syariah fokus pada kebijakan makroprudensial; OJK yang memiliki otoritas pada kebijakan mikroprudensial; dan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yang menjaga kesyariahan segala kegiatan transaksi keuangan syariah.

Ketiga otoritas inilah yang menggawangi keberlanjutan dan kemapanan keuangan syariah di Indonesia. Selain ketiganya, ada Badan Zakat Nasional (Baznas) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang juga punya peran dalam membentuk infrastruktur pasar keuangan syariah lebih dinamis dan humanis.

Ketiga, peluang investasi sektor ritel. Dari hasil penelitian tersebut, pembiayaan syariah masih dikuasai dua bank besar, yaitu Bank Muamalat dan BSM sebesar 68 persen, sisanya dibagi-bagi antarbank syariah lainnya. Begitu pula pembiayaan ritel syariah juga hanya dikuasai lima bank (63 persen) sehingga pembiayaan ritel tidak begitu kompetitif. Maka wajar jika harga pembiayaan menjadi mahal.

Tidak jauh beda dengan bank syariah, general asuransi syariah 65 persen pangsa pasar juga dikuasai hanya lima perusahaan. Bahkan, untuk asuransi jiwa syariah 82 persen dikuasai lima perusahaan. Untuk pengguna asuransi terdapat kurang lebih 59 persen yang tidak memakai asuransi syariah. Artinya, masih sangat besar potensi nasabah asuransi syariah ke depannya.

Dari sisi pemahaman konsumen terhadap keuangan syariah, hanya 13 persen yang mengerti dan paham perbedaan keuangan syariah dan konvensional, dan 37 persen tahu tapi terbatas. Sebaliknya, ada sekitar 37,7 persen tidak tahu tapi masih ada keinginan untuk mencari tahu. Sedangkan, yang tidak tahu tapi ingin tahu sekitar 30 persen. Hal ini menunjukkan edukasi tentang keuangan syariah sangat minim sekali.

Yang menggembirakan, sukuk ritel yang dikeluarkan pemerintah sejak 2009 sebesar Rp 5,5 triliun naik tajam menjadi kurang lebih Rp 43 triliun pada tahun awal 2016. Isu wealth management terkhusus dalam kaitan dengan manajemen dana haji menjadi sorotan dalam laporan IFCR ini.

Sebagai negara Muslim yang besar, potensi dana haji juga besar. Tak kalah pentingnya adalah sektor keuangan sosial. Dana zakat, wakaf, dan sedekah juga punya potensi yang sangat besar jika dikelola dengan baik dan benar.

Dengan adanya regulasi baru pada 2011 terkait zakat, harapannya mampu mendongkrak pendapatan zakat. Salah satu aturannya adalah pengurangan pajak pendapatan bagi muzaki yang membayar zakatnya. Selain zakat, wakaf juga tidak kalah penting dalam perekonomian Indonesia. Berbagai produk yang atraktif, misal wakaf tunai, telah meningkatkan kesadaran masyarakat mewakafkan hartanya.

Dan yang tak kalah penting dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah adalah lembaga keuangan mikro syariah atau BMT yang terbukti mampu melewati krisis finansial. Terdapat berbagai perkumpulan atau asosiasi yang mendorong anggotanya berkembang, semisal Pusat Inkubasi Usaha Kecil (Pinbuk), Induk Koperasi Syariah (Inkopsyah), Micro Finance Indonesia, BMT Center, Pusat Koperasi Syariah (Puskopsyah), Pusat Nasional Madani (PNM), dan Permodalan BMT ventura.

Keempat, peluang investasi di sektor korporasi. Pembiayaan perbankan syariah di sektor ini tak jauh beda dengan sektor ritel. Hampir 70 persen masih dikuasai lima bank besar saja. Dari sisi sektor ekonomi, pembiayaan bank syariah terbesar pada business services, yaitu hampir sepertiga dari total pembiayaan. Namun, hanya menyumbangkan 1,57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Sungguh miris, sebagai negara agraris dan sepertiganya adalah laut, pembiayaan di sektor pertanian, perkebunan, perikanan hanya tiga persen. Hal ini menunjukkan, perbankan syariah masih belum bisa memberi solusi yang dihadapi petani dan nelayan. Kontrak salam (nol persen) dan istisna (tujuh persen) juga belum maksimal digunakan oleh perbankan syariah.

Adapun sukuk korporasi hanya seperempat dari sukuk negara. Berdasarkan survei 2014, sukuk korporasi Indonesia (176 miliar dolar AS) berada di peringkat tujuh, di bawah Malaysia di posisi pertama (13.672 miliar dolar), bahkan masih kalah dengan Singapura (563 miliar dolar).

Kelima, dampak ekonomi Islam pada investasi. Potensi industri halal sangat besar dan menggiurkan. Berdasarkan Global Islamic Economic Indicator (GIEI) 2015-2016 yang dirilis Thomson Reuters, Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 70 negara Muslim. Perinciannya, industri keuangan syariah menempati ranking kesembilan, disusul industri makanan halal pada ranking ke-13.

Halal tourism berada pada posisi ke-13, fashion/pakaian di posisi ke-25. Selanjutnya, media/rekreasi di posisi 48, dan terkait kosmetik dan farmasi di posisi keenam.

Dari data ini, terlihat masih banyak pekerjaan rumah untuk meningkatkan posisi Indonesia supaya lebih baik. Pemerintah harus mulai sadar bahwa industri syariah memerlukan grand design dan kebijakan yang mendukung perkembangan ekonomi syariah, khususnya keuangan syariah.

Luqman Hakim Handoko
Kepala Prodi Perbankan Syariah STE SEBI, Analis Keuangan dan Perbankan Syariah SIBER-C

laman rujukan: http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/03/28/o4qo3q12-potret-industri-keuangan-syariah

 


  • Penulis adalah Kepala Prodi Perbankan Syariah STE SEBI, Analis Keuangan dan Perbankan Syariah SIBER-C

 

Leave Your Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Alamat

Jl. Pandawa No.14, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo

Layanan Akademik

Senin – Jumat
08:00  – 15 :00 WIB

If you have any question, feel free to contact us

Newsletter

Join our newsletter for latest Updates
[mc4wp_form id="625"]