KSPM Maju Sebagai Panelis Diskusi FGGD di UNSAFF UNNES

Semarang – Kelompok Studi Pasar Modal (KSPM) berkesempatan untuk menjadi salah satu panelis diskusi dalam Firm and Great General Discussion (FGGD) dengan tema Financial Planning for Financial Freedom yang diselenggarakan oleh UNNES Stock Exchange Study Forum (UNSAFF) pada Sabtu, 6 Mei 2017, atas undangan UNSAFF.

FGGD UNSAFF adalah yang pertama diadakan oleh UNSAFF, yang juga dimanfaatkan sebagai ajang untuk mempertemukan KSPM se-Jawa Tengah dalam sebuah forum diskusi. Acara tersebut merupakan bentuk dari peran aktif UNSSAFF dalam mendukung kemajuan Pasar Modal di Indonesia melalui suatu forum diskusi. Pada tahun 2016, UNSAFF telah menyelenggarakan acara serupa, meskipun hanya dalam lingkup Kota Semarang.

Panelis diskusi dalam acara FGGD UNSAFF meliputi perwakilan Galeri Investasi Terbang, UNIKA, Phintraco Sekuritas, UNWAHAS, UMS, UIN Walisongo, IAIN Surakarta, Vallbury Sekuritas, UNISBANK, UDINUS, POLINES, UKSW, Mirrae Sekuritas, Kresna, UNIKAL, UNNES, dan UNS.

Dalam kesempatan tersebut, KSPM IAIN Surakarta mengirimkan dua orang wakilnya sebagai panelis dalam diskusi tersebut, yaitu Muhammad Alan Nur dan Muhammad Razzak Parlindungan. Sebelum forum dimulai, para panelis dan peserta diajak untuk mengenal terlebih dahulu mengenai perencanaan keuangan yang disampaikan oleh Manulife dengan mengenalkan produk reksadana kepada para hadirin. Setelah itu, barulah forum dimulai dengan mengangkat tema diskusi yaitu “IHSG di Level 6000 di Akhir Tahun”. Dalam forum tersebut, KSPM mendapatkan mosi kontra yang menyatakan bahwa IHSG di akhir tahun nanti tidak mencapai ke level 6000 dengan fokus analisis dari segi Kebijakan dan Politik.

Dari segi kebijakan dan politik luar negeri, KSPM menyoroti terpilihnya Presiden Donald Trump yang dianggap oleh publik global sedang melakukan proteksionisme terhadap Amerika Serikat, rencana kenaikan suku bunga The Fed sebanyak tiga kali di tahun 2017, gejolak negara-negara Uni Eropa atas “Brexit”, dan belum jelasnya OPEC dan non OPEC dalam melalukan produksi minyak. Adapun dari dalam negeri, Tax Amnesty yang belum menjadi harapan dari segi wajib pajak, kemudian hutang Indonesia yang terus membesar, dan taktik Bank Indonesia dalam mempersipakan Indonesia menghadapi rencana kenaikan suku bunga The Fed.

Diskusi hangat ini berlangsung meriah, dan masing-masing pihak beragumen dengan menggunakan data yang diperoleh. Dalam acara ini, tidak hanya kelompok studi pasar modal se-Jawa Tengah yang diundang, tetapi juga beberapa analis sekuritas dihadirkan untuk menghidupkan suasana agar diskusi menjadi menarik dan peserta antusias.

Selain sebagai ajang berdiskusi untuk menyampaikan analisis dan pendapat, KSPM juga memanfaatkan kesempatan ini untuk saling mengenal dan menguatkan persaudaraan diantara kelompok studi pasar modal se-Jawa Tengah. KSPM dalam acara FGGD UNNES ini merupakan salah satu tamu undangan, wakil dari Kota Surakarta, selain kelompok studi pasar modal dari Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Sebelas Maret. (alan)

Kunjungan Studi HMJ Perbankan Syariah ke OJK Surakarta

Surakarta –  HMJ Perbankan Syariah mengadakan kunjungan studi ke Otoritas Jasa Keuangan Surakarta dengan tema Outlook Perbankan Syariah 2017 di Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan tanggal 27 April 2017, dalam rangka realisasi program kerja dari dua unit pada HMJ Perbankan Syariah, yaitu Unit Kemahasiswaan dan Unit Keorganisasian. Disamping untuk realisasi program kerja, tujuan dilaksanakan OC to OJK ini juga untuk mengetahui tentang kiprah perbankan syariah pada perekonomian Indonesia, melalui sumber yang terpercaya dan terbaru. Dengan tema yang menarik ini, kegiatan OC to OJK ini dibuka untuk umum, dengan peserta yang bukan hanya berasal dari IAIN Surakarta saja, tapi juga dari perguruan tinggi lain, seperti STIE AAS dan UMS.

Kegiatan diskusi berlangsung di kantor OJK Surakarta yang berlokasi di Jl. Veteran No.299, Tipes, Serengan, Kota Surakarta. Diskusi dipimpin oleh Friska Magdalena (Staf Sub Bagian Pengawasan Edukasi Perlindungan Konsumen) selaku moderator, dan Nofa Hermawati (Kepala Sub Bagian Perizinan, Informasi, dan Dokumentasi) selaku pembicara.

Dalam diskusi ini, disampaikan bahwa dalam perkembangan keuangan syariah secara global berdasarkan aset yang dimiliki, Indonesia berada di posisi ke-9 dengan jumlah aset 65,5 miliar (menurut IFSB Financial Stability Report 2016). Untuk Indonesia sendiri, Nanggroe Aceh Darussalam adalah provinsi dengan market share perbankan syariah tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 50,21%. Hal ini dikarenakan berubahnya BPD Aceh menjadi Bank Aceh Syariah pada September 2016, sehingga mendorong pertumbuhan aset perbankan syariah di Aceh yang relatif tinggi, yaitu sebesar 326,61%.

Secara lebih rinci, perkembangan perbankan syariah mencakup BUS, UUS, dan BPRS mengalami peningkatan yang positif, jika dilihat dari peningkatan signifikan dari aset, pembiayaan, dan DPK dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Jumlah rekening juga meningkat secara signifikan walaupun jumlah kantor menurun. Dari segi permodalan juga cukup baik dengan peningkatan rasio CAR sebesar 1,04% menjadi 16,99%, dan likuiditas BUS yang tergolong tinggi juga. Dilihat dari segi profitabilitas dan efisiensi, perbankan syariah juga semakin membaik, meski masih tergolong rendah.

Kegiatan ini berjalan dengan sukses dan lancar, serta mencapai target yang diingingkan oleh panitia. Kegiatan semacam ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan lebih mengenai OJK dan peranannya dalam pengaturan dan pengawasan keuangan syariah di Indonesia bagi para peserta. (liya)

mou program studi akuntansi syariah dan iai komisariat surakarta

22 April 2017 Program Studi Akuntansi Syariah mengikuti pelantikan dan menandatangani MoU dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Komisariat Surakarta yang menggelar seminar audit forensic dan pelantikan pengurus IAI Surakarta. Prodi Akuntansi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Surakarta diwakili oleh Ibu Kaprodi Marita Kusuma Wardani, S.E., M.Si., Ak.,CA dan Ketua IAI Komisariat Surakarta Bapak Prof. Djoko Suharjanto, M.Com.(Hons).,Ph.D menandatangani perjanjian diantaranya untuk kerjasam bidang Pendidikan pengajaran, Keprofesian, Penelitian dan Pengabdian Kepada masyarakat. Dengan Kerjasama ini diharapkan IAI Komisariat Surakarta bisa membantu pengembangan bidang ilmu akuntansi khusunya akuntansi Syariah pada Prodi akuntansi Syariah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Surakarta

KSPM Ikuti Kompetisi StockLab Nasional

Surakarta – Kelompok Studi Pasar Modal (KSPM) mengirimkan 14 perwakilannya dalam kompetisi StockLab yang diselenggarakan oleh Kantor Otoritas Jasa Keuangan (KOJK) Surakarta di Kantor OJK Surakarta, pada hari Kamis, 20 April 2017. Dalam keikutsertaannya, KSPM IAIN Surakarta tidak hanya mengirimkan 14 perwakilannya sebagai peserta, namun ikut berpartisipasi dengan mengirimkan 5 perwakilannya sebagai wasit dalam kompetisi tersebut.

Dalam sambutannya, Kepala Otoritas Jasa Keuangan Surakarta, Bapak Laksono Dwi Onggo, menyambut positif kegiatan kompetisi game pasar modal StockLab. Melalui game StockLab, diharapkan masyarakat dapat mengenal dan mengetahui pasar modal sejak dini melalui sarana permainan. Selain itu, Kepala Otoritas Jasa Keuangan Surakarta berharap bahwa permaianan StockLab dapat ikut berkontribusi dalam mengajak masyarakat untuk berinvetasi di pasar modal.

Kompetisi StockLab regional Surakarta diikuti oleh 129 peserta yang seluruhnya merupakan mahasiswa dari perguruan tinggi yang ada di wilayah Karesidenan Surakarta yang memiliki Galeri Investasi Bursa Efek Indonesia dengan jumlah 11 Galeri Investasi. Empat tahap sesi permaianan harus dilalui oleh peserta, meliputi babak penyisihan, babak head to head, babak 10 besar, dan babak final.

Risma Siti Hanifah, mahasiswa jurusan Perbankan Syariah, yang merupakan salah satu perwakilan dari KSPM IAIN Surakarta sukses lolos hingga babak 10 besar. Namun langkahnya tidak berlanjut hingga tahap final karena kalah di babak 10 besar. Namun prestasi yang ditorehkan Risma patut diacungi jempol, karena mampu menduduki juara ke-9 dari 129 peserta, dan mendapatkan hadiah sebesar 500 ribu rupiah dalam bentuk tabungan investasi saham.

Selain berhasil menghantarkan perwakilannya mampu masuk ke babak 10 besar sebagai peserta, 5 anggota KSPM yang lain, yaitu Muhammad Alan Nur, Adam Putra Dewanto, Ricky Setiawan, Agil Muhamad Hasan, dan Ririn Indriyani Suseno yang juga merupakan mahasiswa jurusan Perbankan Syariah juga berkesempatan mendapatkan sertifikat wasit nasional kompetisi StockLab (certified by OJK) karena telah membantu jalannya perlombaan kompetisi nasional tersebut.

Kepala Divisi Research and Development KSPM, Adam Putra Dewanto, seusai acara menyatakan bahwa dengan diadakannya acara kompetisi nasional game simulasi saham StockLab, diharapkan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa IAIN Surakarta pada khususnya dapat lebih mengenal pasar modal. Selain itu, KSPM IAIN Surakarta siap membantu OJK dan Bursa Efek Indonesia untuk mensosialisasikan game StockLab. Saat ini, 5 perangkat game StockLab telah tersedia di Galeri Investasi IAIN Surakarta. (alan)

Peran Bank Wakaf dalam Mengelola Potensi Wakaf di Indonesia

Sukoharjo – HMJ Perbankan Syariah mengadakan kajian rutin dengan tema Peran Bank Wakaf dalam Mengelola Potensi Wakaf di Indonesia. Kegiatan kajian rutin ini dilaksanakan dalam rangka realisasi program kerja staf Kemahasiswaan HMJ Perbankan Syariah yang diadakan pada Kamis, 30 Maret 2017. Tujuan diadakannya kajian rutin ini adalah untuk mengetahui isu-isu terbaru tentang kegiatan ekonomi di Indonesia melalui sumber yang terpercaya.

Kegiatan kajian ini berlangsung di Ruang Baca Fakultas, dengan pembicara Indah Piliyanti, S.Ag., M.Si. Dalam kegiatan ini dijelaskan bahwa Pemerintah terus gencar untuk mengembangkan potensi industri keuangan syariah di Indonesia. Salah satu potensi tersebut terdapat pada rencana Pemerintah yang ingin membentuk bank wakaf di Indonesia. Terhadap rencana ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) siap menindaklanjutinya. Presiden Joko Widodo mengatakan, potensi wakaf, baik benda tidak bergerak maupun benda bergerak, termasuk wakaf uang, begitu besar untuk dikembangkan di Indonesia. Pemanfaatan potensi wakaf uang melalui lembaga keuangan syariah, dinilai Presiden, dapat turut menopang redistribusi aset, maupun perluasan akses permodalan, khususnya bagi usaha mikro, kecil dan menengah. Pemerataan kegiatan ekonomi itu diyakini Pemerintah dapat menguatkan keterampilan dan perubahan budaya untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial. Menurut Jokowi, selama ini pengelolaan uang wakaf melalui Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKSPWU) yang ditunjuk oleh Menteri Agama belum sepenuhnya maksimal. Dengan menguatnya peran dari lembaga itu nantinya, Jokowi berharap, pertumbuhan ekonomi nasional dapat lebih merata, sehingga kesenjangan sosial mengecil, dan kesejahteraan masyarakat meningkat. (adam)

rapat pengkajian visi misi prodi AKS

Jumat, 20 Januari 2017 Acara rapat pengkajian visi misi prodi AKS dimulai pada pukul 09.00 yang diawali dengan pembukaan oleh ketua tim penyusun visi dan misi program studi Akuntansi Syariah. Acara ini diikuti oleh pihak internal dan eksternal. Pihak internalnya adalahseluruh tim penyusunan visi dan misi program studi Akuntansi Syariah, perwakilan dosen Akuntansi Syariah, perwakilan tenaga kependidikan, dan perwakilan mahasiswa. Sedangkan pihak eksternal dihadiri oleh perwakilan alumni, perwakilan pengguna alumni, perwakilan dari KAP, dan perwakilan dari lembaga keuangan syariah. Selanjutnya arahan dari Dekan FEBI selaku penanggung jawab penyusunan visi dan misi progran studi Akuntansi Syariah. Memasuki acara inti pembahasan visi dan misi program studi Akuntansi Syariah pada pukul 09.20 dimulai dengan menyajikan draft visi dan misi yang telah disusun dari hasil rapat sebelumnya dan mendapatkan masukkan dari berbagai pihak.

PRODI AKUNTANSI SYARIAH MELAKUKAN Rapat penyusunan draft visi misi prodi

Jumat, 13 Januari 2017 Rapat penyusunan draft visi misi prodi AKS dimulai pada pukul 09.00 yang diawali dengan pembukaan oleh ketua tim penyusun visi dan misi program studi Akuntansi Syariah. Acara ini diikuti oleh seluruh tim penyusunan visi dan misi program studi Akuntansi Syariah, perwakilan dosen Akuntansi Syariah, perwakilan tenaga kependidikan, dan perwakilan mahasiswa. Selanjutnya arahan dari Dekan FEBI selaku penanggung jawab penyusunan visi dan misi progran studi Akuntansi Syariah. Acara inti pembahasan draft visi dan misi program studi Akuntansi Syariah pada pukul 09.20 dimulai dengan melihat visi dan misi yang telah ada untuk selanjutnya penyusunan draft visi dan misi yang disesuaikan dengan visi dan misi institut serta masukan dari berbagai pihak.

Aset Desa Sebagai Basis Desa Membangun

Visi Presiden Joko Widodo untuk membangun Indonesia dari pinggiran sambil memperkuat daerah dan memberdayakan desa tidak mudah. Salah satu tantangan yang dihadapi masih carut marutnya penataaan aset desa. UU Desa Pasal 116 (4) secara gamblang sebetulnya mewajibkan inventarisasi aset desa paling lambat dua tahun sejak disahkannya UU Desa pada 15 Januari 2014. Artinya, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa (Pemdes) harusnya sudah mulai melakukan kegiatan inventarisasi aset dan sudah selesai sebelum 15 Januari 2016.

Faktanya, sebagai contoh kecil, ketika saya bertanya soal penataan aset desa kepada seorang Sekretaris Desa (Sekdes) di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Dia menjelaskan masih belum banyak hal yang dilakukan terkait penataan aset desa, padahal desanya punya aset yang melimpah. Sebagai gambaran aset yang melimpah adalah aset tanah, perkebunan, sawah, air, pasir (kategori aset sumber daya alam), tenaga kerja terampil, buruh tani, buruh kebun (aset sumber daya manusian), arisan, anjangsana, paguyuban (aset sosial-budaya), pasar desa (aset fisik) hingga alokasi dana desa dan dana desa (aset finansial).

Sayangnya, inventarisasi atau pendokumentasian terhadap kekayaan aset belum berjalan optimal. Saya terkejut ketika Pak Sekdes ini menyodorkan buku besar tentang data tanah desa yang sudah berusia sekitar 31 tahun! Buku yang sudah lusuh dan kertasnya banyak yang sudah tidak beraturan itu berisi tentang data tanah desa dan tanah warga. Cerita di atas menjadi bukti nyata betapa identifikasi aset dan tata cara mendokumentasikan aset berjalan stagnan alias tidak kemana-mana. Kesadaran tentang kekayaan aset tidak berbanding lurus dengan ikhtiar nyata untuk menginventarisasi dan membukukannya dengan baik dan mudah diakses publik.

Dari sisi regulasi, Permendagri 114/2014 Pasal 13 (2) yang memberi pandu arah melakukan identifikasi aset desa untuk nantinya dituliskan ke dalam laporan data desa sayangnya tidak berjalan dengan optimal. Hal ini mengindikasikan betapa kontrol dan fasilitasi pemerintah pusat terhadap persoalan penataan aset desa masih kurang. Pemerintah kedodoran dalam soal pengelolaan aset desa.

Alasan lain kenapa aspek penataan desa belum banyak menjadi perhatian bisa jadi karena kurang populer dibandingkan isu dana desa. Dalam berbagai kesempatan diskusi maupun forum pelatihan bersama dengan warga maupun aparatur desa, antusiasme selalu terlihat ketika membahas soal dana desa, terutama soal besaran dan pemanfaatannya. Hal berbeda ketika memperbincangkan aset desa. Mayoritas jawaban dari desa mereka punya banyak aset tetapi kurang jelas posisi dan kepemilikannya.

Lalu, mengapa aset desa menjadi tantangan serius dalam kerangka pembangunan desa dengan perspektif pembangunan berkelanjutan? Banyak desa yang sebetulnya kaya aset secara kasat mata tetapi belum terinventarisir dengan baik. Merujuk pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 4 (d), salah satu poin pengaturan desa bertujuan untuk mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama. Regulasi ini memberi pesan yang jelas bahwa aset desa adalah modal untuk memperoleh kesejahteraan bersama. Karena itu, upaya menemukenali dan mengidentifikasi aset desa adalah hal yang mutlak untuk dilakukan agar aset desa bisa didayagunakan dan bermanfaat sebagai basis pembangunan desa.

Dengan kata lain, aset desa yang melimpah di desa idealnya dikuasai oleh desa untuk dimanfaatkan dan didistribusikan ulang untuk kesejahteraan bersama. Jika aset desa dimiliki oleh individu atau pihak lain di luar desa, maka agak mustahil warga desa bisa menikmati kesejahteraan secara bersama-sama.

Menemukenali dan Mengelola Aset Desa

Memang tidak mudah bagi desa untuk menginventarisasi aset desa setelah sekian lama terbengkalai dan tidak jelas kepemilikannya. Salah satu Kepala Desa di Kabupaten Tuban, Jawa Timur pernah bercerita kepada saya tentang penolakan warga terhadap pendataan tanah milik desa, padahal warga sendiri sebetulnya tahu bahwa tanah tersebut memang milik desa, tetapi warga menolak kalau tanah yang selama ini digunakan akan diinventarisasi oleh desa.

Penolakan warga tersebut sejatinya adalah cermin kekhawatiran bahwa ketika tanah atau sawah yang selama ini digarap akan diambil alih oleh desa dan mereka tidak diperbolehkan untuk menggarapnya lagi. Padahal, menurut cerita Pak Kepala Desa tersebut, pihak desa sebetulnya hanya ingin mendata dan memastikan bahwa status tanah atau sawah tersebut adalah milik desa. Sementara warga tetap diperbolehkan untuk memanfaatkan tanah atau sawah, tetapi bukan dengan status hak milik melainkan hak pakai saja. Hal ini untuk menghindari adanya warga yang dikhawatirkan menjual tanah atau sawah kepada pihak ketiga atau pihak luar desa. Disinilah diperlukan adanya musyawarah bersama antara desa dan warga untuk menyamakan persepsi tentang bagaimana sebaiknya aset desa diinventarisir dan dimanfaatkan.

UU Desa Pasal 26 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Kepala Desa adalah memegang kekuasaan dan mengelola aset desa. Berpijak pada regulasi ini, Kepala Desa dan jajarannya sebetulnya tidak perlu ragu untuk mengelola aset desa sepanjang dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama. Agar bisa menjadi sarana bagi kesejahteraan publik, maka langkah pertama yaitu mengetahui aset desa.

Secara konkrit, upaya menemukenali aset desa bisa dilakukan dengan merujuk pada desain laporan data desa sebagaimana diperkenalkan Permendagri 114/2014 Pasal 13 (2). Dalam regulasi tersebut, data desa dijabarkan ke dalam empat jenis aset. Pertama, aset sumber daya alam. Kedua, aset sumber daya manusia. Ketiga, aset sumber daya pembangunan. Keempat, aset sumber daya sosial budaya.

Jika ditelisik lebih mendalam, UU Desa tidak hanya memberi kekuasaan tanpa kontrol. Melalui asas rekognisi (pengakuan) dan subsidiaritas (kewenangan) yang didukung dengan dana desa, kepala desa dan jajarannya memiliki otoritas untuk mengatur desa sesuai dengan kewenangan yang dimiliki termasuk mengelola hal-hal strategis di desa. Salah satu aspek strategis tersebut adalah melakukan inventarisasi, mengelola dan memanfaatkan aset desa. Sebagai aspek strategis di desa, penambahan atau pelepasan aset desa tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh kepala desa. Desa yang memiliki aset yang kaya ditambah dengan watak Kepala Desa yang semena-mena bisa menghasilkan pelepasan aset kepada pihak lain yang tidak berkepentingan dan menyalahi prosedur, yang muaranya merugikan desa.

Bagaimana mengawasi dan mengendalikan aspek kekuasaan kepala desa? UU Desa dengan gamblang telah menyediakan fungsi kontrol atau pengawasan terhadap aset desa kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) melalui forum yang disebut dengan musyawarah desa (musdes). Musdes difasilitasi oleh BPD dan melibatkan Pemdes, warga desa, serta kelompok-kelompok masyarakat yang ada di desa. Kasus tukar guling aset desa berupa tanah, misalnya, harus dibicarakan dalam forum musdes yang melibatkan semua pihak di desa.

Aset Desa Sebagai Basis Sumber Penghidupan

Adanya identifikasi dan kontrol ini untuk memastikan bahwa aset desa sebagai kekayaan desa tidak disalahgunakan pemanfaatannya. Untuk mencapai kesejahteraan bersama, maka aset desa perlu diletakkan sebagai basis sumber penghidupan bersama. Dalam kerangka demikian, maka aset desa harus dimanfaatkan dan didayagunakan untuk memastikan bahwa semua warga desa bisa menggunakan aset desa sebagai sumber penghidupan berkelanjutan.

Perspektif sumber penghidupan terhadap aset desa ini akan memudahkan desa dalam meraih kesejahteraan bersama warga dan pemerintah desa. Pemanfaatan aset desa juga sebaiknya memprioritaskan warga desa sebagai pengguna utama. Dalam konteks yang demikian, pelibatan warga dalam proses identifikasi dan pemanfaatan aset menjadi tidak bisa ditawar lagi. Kebijakan desa terkait penggunaan aset desa harus melibatkan warga agar tidak ada dominasi satu kelompok dan meminggirkan kelompok atau warga yang lemah. Sebagai contoh, tanah milik desa yang disewakan harus mendahulukan warga desa daripada pihak di luar desa. Dengan begitu, maka pihak desa juga berkontribusi untuk menyediakan lapangan kerja bagi warga desanya.

Ikhtiar Pemerintahan saat ini untuk membangun Indonesia dengan cara memperkuat desa sebagaimana ditulis dalam dokumen Nawa Cita adalah momentum yang tepat bagi pemerintah pemerintah desa untuk menata, mendata, dan mendokumentasi semua aset yang dimiliki.

Ketika aset desa sudah diketahui, maka kebijakan pembangunan bisa berpijak dan mengacu pada aset yang dimiliki desa. Tanpa aset, maka desa terancam tidak berdaya. Ketidakjelasan aset akan membuat desa terus meraba-raba tentang kekayaan apa saja yang dimiliki.

Saatnya desa dan kabupaten dengan fasilitasi dan supervisi pemerintah pusat bahu-membahu mengidentifikasi atau menemukenali serta mendokumentasi aset desa. Hal ini menjadi lebih kuat dengan adanya momentum dua tahun UU Desa dimana salah satu mandat utamanya adalah penataan aset desa.  Ditambah dengan komitmen politik Nawa Cita khususnya soal membangun dari desa. Sudah saatnya Presiden mengingatkan dan memastikan para pejabat di Kementerian untuk memperhatikan soal penataan aset desa agar menjadi basis dalam memperkuat desa. Membangun dan memberdayakan desa sebagaimana keinginan Nawa Cita akan lebih mudah ketika mampu mengenali aset yang dimiliki.

Laman Rujukan: https://www.suarakebebasan.org/id/opini/item/555-aset-desa-sebagai-basis-desa-membangun

 


Research associate Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan staf pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Surakarta.

Potret Industri Keuangan Syariah

Pada 11 Maret 2016, Islamic Research and Training Institute (IRTI) merilis Islamic finance country report for Indonesia (IFCR). Laporan berseri yang menyajikan kondisi dan prospek keuangan syariah di negara-negara Muslim. IFCR Indonesia adalah seri ketujuh. Seri pertama adalah Tunisia (2013), kedua Turki (2014), ketiga Arab Saudi (2014), keempat Malaysia (2015), kelima Oman (2015), dan keenam adalah Sudan (2016).

Hasil riset IRTI yang bekerja sama dengan The General Council for Islamic Banks and Financial Institutions (Cibafi) ini mengulas lima hal terkait peluang dan tantangan industri keuangan syariah di Indonesia. Pertama, perkembangan industri keuangan syariah.

Perkembangan keuangan syariah Indonesia bisa dibilang lambat dibandingkan negara tetangga. Meskipun pertumbuhan keuangan syariah cukup tinggi, mencapai 139 persen year on year (yoy) sejak 2010 dibandingkan konvensional yang hanya 42 persen sejak 2010, setelah lebih dari dua dekade kontribusi keuangan syariah tidak lebih dari lima persen.

Share bank syariah masih berada pada kisaran 4,8 persen dari total industri perbankan, reksa dana syariah juga masih 4,5 persen. Sukuk sebagai salah satu alternatif investasi juga masih 3,2 persen. Sedangkan, industri keuangan non-bank (IKNB) hanya berkontribusi 3,1 persen. Perbankan syariah berkontribusi terbesar untuk keuangan syariah (50 persen), diikuti oleh sukuk 44 persen. Asuransi syariah dan reksa dana hanya 65 persen.

Dukungan Pemerintah Indonesia terhadap keuangan syariah masih sekadarnya, belum menyentuh pokok masalah. Begitupun dukungan partai politik hingga kini masih sangat minim. Dengan hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum mampu untuk meningkatkan share keuangan Islam.

Hal ini berbeda dengan Malaysia. Menurut Lai (2014), dukungan pemerintah dan partai politik yang berkuasa terhadap keuangan syariah sangat kuat. Isu keuangan syariah menjadi salah satu isu sentral yang harus diselesaikan segera sejak 1980-an. Kebijakan yang ada mempercepat pertumbuhan keuangan syariah di Malaysia. Tak mengherankan kalau share perbankan syariah Malaysia mencapai 23 persen.

Kedua, regulasi dan infrastruktur pasar. Sebagaimana pengalaman negara tetangga, peran regulator dalam meningkatkan pertumbuhan keuangan syariah sangat penting. Salah satu isu adalah bagaimana membuat regulasi yang efesien dan efektif untuk mendukung perkembangan ekonomi syariah.

Sistem infrastruktur keuangan syariah kita terdiri dari tiga otoritas, yaitu Bank Indonesia (BI) dalam pengembangan keuangan syariah fokus pada kebijakan makroprudensial; OJK yang memiliki otoritas pada kebijakan mikroprudensial; dan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yang menjaga kesyariahan segala kegiatan transaksi keuangan syariah.

Ketiga otoritas inilah yang menggawangi keberlanjutan dan kemapanan keuangan syariah di Indonesia. Selain ketiganya, ada Badan Zakat Nasional (Baznas) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang juga punya peran dalam membentuk infrastruktur pasar keuangan syariah lebih dinamis dan humanis.

Ketiga, peluang investasi sektor ritel. Dari hasil penelitian tersebut, pembiayaan syariah masih dikuasai dua bank besar, yaitu Bank Muamalat dan BSM sebesar 68 persen, sisanya dibagi-bagi antarbank syariah lainnya. Begitu pula pembiayaan ritel syariah juga hanya dikuasai lima bank (63 persen) sehingga pembiayaan ritel tidak begitu kompetitif. Maka wajar jika harga pembiayaan menjadi mahal.

Tidak jauh beda dengan bank syariah, general asuransi syariah 65 persen pangsa pasar juga dikuasai hanya lima perusahaan. Bahkan, untuk asuransi jiwa syariah 82 persen dikuasai lima perusahaan. Untuk pengguna asuransi terdapat kurang lebih 59 persen yang tidak memakai asuransi syariah. Artinya, masih sangat besar potensi nasabah asuransi syariah ke depannya.

Dari sisi pemahaman konsumen terhadap keuangan syariah, hanya 13 persen yang mengerti dan paham perbedaan keuangan syariah dan konvensional, dan 37 persen tahu tapi terbatas. Sebaliknya, ada sekitar 37,7 persen tidak tahu tapi masih ada keinginan untuk mencari tahu. Sedangkan, yang tidak tahu tapi ingin tahu sekitar 30 persen. Hal ini menunjukkan edukasi tentang keuangan syariah sangat minim sekali.

Yang menggembirakan, sukuk ritel yang dikeluarkan pemerintah sejak 2009 sebesar Rp 5,5 triliun naik tajam menjadi kurang lebih Rp 43 triliun pada tahun awal 2016. Isu wealth management terkhusus dalam kaitan dengan manajemen dana haji menjadi sorotan dalam laporan IFCR ini.

Sebagai negara Muslim yang besar, potensi dana haji juga besar. Tak kalah pentingnya adalah sektor keuangan sosial. Dana zakat, wakaf, dan sedekah juga punya potensi yang sangat besar jika dikelola dengan baik dan benar.

Dengan adanya regulasi baru pada 2011 terkait zakat, harapannya mampu mendongkrak pendapatan zakat. Salah satu aturannya adalah pengurangan pajak pendapatan bagi muzaki yang membayar zakatnya. Selain zakat, wakaf juga tidak kalah penting dalam perekonomian Indonesia. Berbagai produk yang atraktif, misal wakaf tunai, telah meningkatkan kesadaran masyarakat mewakafkan hartanya.

Dan yang tak kalah penting dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah adalah lembaga keuangan mikro syariah atau BMT yang terbukti mampu melewati krisis finansial. Terdapat berbagai perkumpulan atau asosiasi yang mendorong anggotanya berkembang, semisal Pusat Inkubasi Usaha Kecil (Pinbuk), Induk Koperasi Syariah (Inkopsyah), Micro Finance Indonesia, BMT Center, Pusat Koperasi Syariah (Puskopsyah), Pusat Nasional Madani (PNM), dan Permodalan BMT ventura.

Keempat, peluang investasi di sektor korporasi. Pembiayaan perbankan syariah di sektor ini tak jauh beda dengan sektor ritel. Hampir 70 persen masih dikuasai lima bank besar saja. Dari sisi sektor ekonomi, pembiayaan bank syariah terbesar pada business services, yaitu hampir sepertiga dari total pembiayaan. Namun, hanya menyumbangkan 1,57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Sungguh miris, sebagai negara agraris dan sepertiganya adalah laut, pembiayaan di sektor pertanian, perkebunan, perikanan hanya tiga persen. Hal ini menunjukkan, perbankan syariah masih belum bisa memberi solusi yang dihadapi petani dan nelayan. Kontrak salam (nol persen) dan istisna (tujuh persen) juga belum maksimal digunakan oleh perbankan syariah.

Adapun sukuk korporasi hanya seperempat dari sukuk negara. Berdasarkan survei 2014, sukuk korporasi Indonesia (176 miliar dolar AS) berada di peringkat tujuh, di bawah Malaysia di posisi pertama (13.672 miliar dolar), bahkan masih kalah dengan Singapura (563 miliar dolar).

Kelima, dampak ekonomi Islam pada investasi. Potensi industri halal sangat besar dan menggiurkan. Berdasarkan Global Islamic Economic Indicator (GIEI) 2015-2016 yang dirilis Thomson Reuters, Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 70 negara Muslim. Perinciannya, industri keuangan syariah menempati ranking kesembilan, disusul industri makanan halal pada ranking ke-13.

Halal tourism berada pada posisi ke-13, fashion/pakaian di posisi ke-25. Selanjutnya, media/rekreasi di posisi 48, dan terkait kosmetik dan farmasi di posisi keenam.

Dari data ini, terlihat masih banyak pekerjaan rumah untuk meningkatkan posisi Indonesia supaya lebih baik. Pemerintah harus mulai sadar bahwa industri syariah memerlukan grand design dan kebijakan yang mendukung perkembangan ekonomi syariah, khususnya keuangan syariah.

Luqman Hakim Handoko
Kepala Prodi Perbankan Syariah STE SEBI, Analis Keuangan dan Perbankan Syariah SIBER-C

laman rujukan: http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/03/28/o4qo3q12-potret-industri-keuangan-syariah

 


  • Penulis adalah Kepala Prodi Perbankan Syariah STE SEBI, Analis Keuangan dan Perbankan Syariah SIBER-C